Kamis, 12 Maret 2009

Bubur Ayam kampanye


Bicara soal kampanye yang terbayang adalah mulai dari spanduk calon legislatif (caleg), baliho yang terpajang disetiap tempat, disetiap sudut jalan atau persimpangan jalan dan sudut perumahan bahkan promosi caleg sudah memasuki dalam tiap-tiap rumah penduduk melalui kalender, dan stiker, belum lagi kita jumpai papan reklame yang berjejer sepanjang jalan, sampai ke iklan tayang di televisi. Aku sendiri bingung wajah caleg yang bervariasi. Memang kebetulan saat ini memasuki waktu mulainya berkampanye, di era reformasi ini berduyun-duyun orang tergiur mendaftarkan diri menjadi caleg, dengan harapan nantinya bisa menduduki kursi empuk atau singgasana kerajaan. “Wah kalau sudah jadi anggota dewan kehidupan pun berubah dari biasa saja menjadi luar biasa, yang awalnya mungkin pejalan kaki dengan menjadi anggota dewan diharapkan menaiki mobil mewah dilengkapi dengan sopir pribadi”. Itulah sedikit tawaran lezat jika sudah duduk di kursi dewan, hmm… tidak heran berbagaimacam cara untuk mempromosikan diri supaya terkenal dan dipilih oleh masyarakat atau dicontreng saat pilkada adalah menjadi tujuan oleh seorang caleg.

Singkat cerita aku hanya berbagi sedikit pengalaman pribadi dengan bubur ayam yang aku tambah embel-embel dibelakangnya “Bubur Ayam Kampanye”, sekitar dua minggu yang lalu tepatnya jam 5.30 pagi aku sedang menunaikan kewajiban pada subuh hari (yah, ini mungkin jadwal shalat yg agak kesiangan, tapi aku pikir dari pada meninggalkan lebih baik mengerjakan). Saat shalat itulah aku mendengar suara dari luar rumah dan mengetuk-ngetuk pintu rumahku, kebetulan aku tinggal di lingkungan perumahan. “kalau tinggal diperumahan suara dehem tetangga sebelah saja bisa kedengaran” ya suara dari luar rumah itu adalah suara yg belum pernah aku dengar bunyinya permisi…. , permisi….., berulang-ulang kali (dengan nada lembut keci, nyaring dan panjang) mungkin kalau aku jelaskan mirip suara orang yang minta sumbangan, dan juga terdengar obrolan singkat yang sepertinya suara tetangga depan rumah yang mengatakan “dek panggil aja ada kok orangnya” coba ketuk lagi pintunya”!.

Tamu : Permisi……, assalamualaikum…….(sambil mengetuk pintu)
Saya : Wa alaikum salam jawab saya sambil buru-buru membuka kain shalat tanpa
merapikannya, ”maaf ya dek mbak lama membuka pintunya, ada apa ya”
Tamu : Ini dari ibu (anak perempuan mengulurkan kantong yang berisi dua mangkok bubur ayam)
Saya : nama adek siapa? Tidak salah alamat? Tinggal dimana? Rentetan pertanyaan dengan berturut-turut saya lontarkan, karena dihati penuh tanda tanya . Ya untuk zaman sekarang atau hari gini kalau kita tidak kenal mana mungkin ada orang yang baik hati mengantarkan makanan, apalagi tinggalnya dikota, diperumahan dengan puluhan blok rumah yang tidak semua saling kenal. Itulah bisikan dalam hatiku saat itu.
Tamu : ini bubur ayam
“kita sudah biasa tiap pagi ngantar makanan tiap rumah dengan bergiliran” saya tinggal di ujung rumah bapak anu...
Saya : Oh ya, makasih ya (aku kembali menutup pintu rumah dan sambil meletakkan dua bubur ayam dimeja belakang, dengan hati berkata-kata). Bubur ayam kupindahkan ke mangkok yang lebih indah biar enak dipandang mata, wow... enak juga kayaknya nih dilengkapi telur puyuh yang ditusuk ke lidi mirip sate dan ada juga kerupuk merahnya. Sebelum aku mulai makan bubur ayam, untuk melegakan perasaan dan menjauhkan pikiran yang bukan-bukan akhirnya aku saat itu juga keluar rumah mencari tahu apakah tetangga lainnya juga diantar sarapan pagi bubur ayam?, tidak jauh-jauh hanya enam langkah kaki sudah sampai ke depan rumah rumah tetangga. “Bunda aku dapat bubur ayam sarapan pagi dari rumah bapak anu yang paling ujung itu”. Bunda menjawab; “Ya makan saja, tidak masalah kok orang niatnya baik ya kita terima dengan baik” bunda sudah pernah dapat jatah juga”. “Ya juga sih, aku hanya ingin tahu saja sekalian biar makannya plong, mudah-mudahan yang memberi bubur ayam murah rezeki. Tapi aku kurang suka bubur ayam lo, maklum orang padang kalau sarapan paginya terbiasa dengan lontong mak uniang yang berkuah santan kental, sedikit pedas dilengkapi bakwan plus kerupk ubi hmm... makyus bana ko ha.
Dan dengan hati agak lega bubur ayam tadi menjadi pilihan menu sarapan pagi hari itu, aku jadi tidak repot-repot lagi menyediakan sarapan pagi.

Setelah suamiku bangun dan bertanya bubur ayamnya darimana, dengan rinci saya jelasin semua bahwa bubur ayam tersebut dari tetangga jauh, yang rumahnya bertingkat dengan warna pagar cat biru nama bapaknya si anu... (spontan suamiku menyahut) oo.... yang itu, dia kan caleg. “Ah caleg...? (dengan raut muka terheran-heran), ow wajarlah (dalam pikiranku sebelumnya juga terbersit kesana), “ini namanya kampanye kan mas”. Tapi menurut aku strategi kampanyenya jitu juga, kalau begitu sering-sering saja lumayan buat sarapan pagi. Tuh bubur ayam rasanya juga enak, tak lupa aku ikut mencoba rasa bubur ayam kampanyenya, tau gak sampai sekarang nama caleg yang memberi bubur ayam melekat dihati alias mudah diingat, ketimbang aku setiap hari melihat spanduk caleg terjejer sepanjang jalan ataupun iklan di televisi lokal, hampir tidak pernah aku simak alias tidak peduli. “dipikiran aku sekarang mah ya minta didukung cari simpati rakyat, tapi entar sudah dikursi empuk mana ingat” itulah segelintir pikiran negatif aku terhadap caleg-caleg kita maklum krisis keprcayaan.

Ya, rutinitas aku untuk berangkat kerjapun sudah jalan, diperjalanan suamiku menunjukkan spanduk berwarna hijau dilengkapi gambarnya “ini nih gambarnya caleg yang kasih bubur ayam ke kita” sambil tersenyum aku menjawab oh ya.... dengan raut mukapun membayangkan kalau caleg-caleg lain akan mengantar bubur ayam lainnya. Tapi kalau soal siapa yang aku contreng adalah rahasia, tetap saja kita memilih dengan cerdas, bukan memilih dengan bubur ayam. “Selamat berusaha buat para caleg-caleg kita, semoga caleg bubur ayam beruntung atau silakan mencoba lagi.

The End

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan Tinggal Komentar Anda, Jangan Spam ya! Trim,s